Jubir Kepresidenan Dikritik karena Sebutan “Rakyat Jelata”, Publik Bereaksi Keras!

Bistronomixnews.my.id – Pernyataan Adita Irawati, Juru Bicara (Jubir) Kantor Komunikasi Kepresidenan, memicu kontroversi setelah ia menyebut rakyat kecil dengan istilah “rakyat jelata”. Istilah ini dianggap merendahkan oleh banyak pihak dan menuai kritik pedas dari masyarakat. Ucapan tersebut muncul saat ia menanggapi polemik terkait Gus Miftah yang dinilai mengejek penjual es teh.
Awal Kontroversi
Kontroversi bermula saat Adita menjelaskan tugas Gus Miftah sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Ia menyebutkan bahwa seorang utusan presiden harus mencerminkan nilai-nilai kepresidenan, baik dalam sikap, pandangan, maupun tindakan. Namun, dalam pernyataannya, Adita menyebut rakyat kecil dengan istilah yang jarang digunakan dalam konteks formal.
“Presiden Prabowo dalam pidato atau kunjungan negara terlihat keberpihakannya kepada rakyat kecil, rakyat jelata,” ujar Adita, Kamis (5/12), seperti dilansir dari YouTube Liputan 6.
Pernyataan tersebut langsung menjadi viral dan memancing reaksi negatif dari masyarakat yang merasa istilah tersebut kurang pantas untuk digunakan dalam forum resmi.
Kritik dari Publik
Warganet tidak tinggal diam. Banyak yang menganggap istilah “rakyat jelata” menggambarkan kesan merendahkan dan tidak mencerminkan empati pemerintah kepada masyarakat kecil.
“Bagaimana mungkin seorang pejabat negara menggunakan istilah yang merendahkan rakyatnya sendiri?” tulis salah satu pengguna Twitter.
Reaksi keras ini juga muncul di berbagai platform media sosial, dengan tagar #RakyatJelata dan #PejabatArogan menjadi trending. Banyak netizen mendesak Adita untuk memberikan klarifikasi atas ucapannya.
Respons Adita dan Kantor Kepresidenan
Hingga berita ini diturunkan, Adita belum memberikan pernyataan resmi untuk merespons kritik yang dilayangkan kepadanya. Namun, sumber dari dalam Kantor Kepresidenan menyebutkan bahwa istilah tersebut digunakan tanpa maksud merendahkan dan merupakan bagian dari retorika pidato yang belum disesuaikan.
Meski demikian, beberapa pengamat menilai bahwa kejadian ini mencerminkan kurangnya sensitivitas pejabat terhadap narasi yang mereka sampaikan di depan publik.
“Penggunaan istilah seperti ini hanya menunjukkan jarak antara pejabat dan rakyat. Seharusnya, pemerintah lebih peka dengan bahasa yang digunakan, terutama dalam konteks seperti ini,” ungkap pengamat politik Arya Wibowo.